ads

Tuesday, March 31, 2009

Sir Muhammad Iqbal: Penyair Yang Pemikir

(The Poet Philosopher)

Quate:
... But, yes, I have a special goal in mind for whose expression I use the
medium of poetry considering the condition and the customs
of this country.
.......................................

Muhammad Iqbal adalah sosok besar dalam khazanah kebudayaan Islam. Pemikirannya dikemasnya dalam bentuk puisi, dan itu membuatnya abadi. Muhammad Iqbal, lahir 9 November 1877. (Dalam buku lain dikatakan, beliau dilahirkan pada 22 Febuari 1877). Dia adalah seorang filsuf, pemikir, cendekiawan, ahli perundangan, reformis, politikus, dan yang terutama: penyair. Dia berjuang untuk kemahuan umat Islam dan menjadi “bapa spiritual” Pakistan.

Iqbal adalah saksi dari zamannya yang saat itu sedang dalam titik terendah kesuraman. Negerinya, sebagaimana negeri Islam lainnya saat itu, sedang dalam keadaan terjajah, miskin, bodoh, dan terbelakang. Dan Iqbal, dengan kecerdasan intelektual, emosional,dan spiritual yang dianugerahi Tuhan, bergerak dan melesat, khususnya dalam hal penulisan dan pemikiran, bahkan tenaga dan waktu. Dia menulis dan terus menulis, dalam bahasa Urdu, Parsi, dan Inggeris. Dia berkelana ke Eropah, bergaul dengan banyak pemikir dan intelektual, untuk bekal perjuangannya.

Iqbal berjuang di All-India Muslim Leage di awal 1930an. Bersama Muhammad Ali Jinnah, dia merumuskan konsep Negara bagi Muslim India, dan tak pernah melihat berdirinya Pakistan tahun 1947 kerana sudah wafat pada 1938. Iqbal juga dijuluki Muffakir-e-Pakistan (Pemikir dari Pakistan) dan Shair-i-Mashriq (Penyair dari Timur), dan hari lahirnya dirayakan sebagai hari cuti umum dan dinamai 'Iqbal Day' di Pakistan.





Iqbal lahir di Sialkot. Ayahnya, Shaikh Nur Muhammad adalah seorang penjahit yang taat beragama, dan mendalami tasawuf. Ibunya, Imam Bibi, pun seorang muslimah yang taat.

Iqbal menyelesaikan sekolah rendahnya di Sialkot. Bakatnya sebagai seorang penyair dimulai di sini, dan mulai dirasakan gurunya, Syed Mir Hasan. Iqbal pun lulus Scotch Mission School pada 1892 dan melanjutkan ke jurusan Liberal Arts di Scotch Mission College (Murray College) dan lulus ujian pada 1895. Setelah itu, ia melanjutkan ke Governtment College, Lahore dan mendapatkan gelaran Bachelor of Arts tahun 1897 untuk jurusan Filsafat, Bahasa Arab, dan Sastera Inggeris, dan gelaran Master of Arts pada 1899. Iqbal turut menerima pingat emas kerana menjadi satu-satunya calon yang sukses di bidang filsafat. Setelah itu, Iqbal mendalami bahasa Arab di Oriental College, Lahore, sebelum menjadi penolong profesor mata pelajaran Filsafat dan Sastera Inggris di Government College, Lahore, pada 1903.



Saat mendapatkan gelaran Master inilah, Iqbal bertemu dengan Sir Thomas Arnold, seorang cendekiawan yang pakar filsafat moden, yang kemudian menjadi jambatan Iqbal ke peradaban Barat, dan mempengaruhinya untuk melanjutkan pendidikan di Eropah.

Pada 1905, Iqbal pergi ke Inggeris untuk belajar di Trinity College, Cambridge University, dan juga belajar ilmu hukum di Lincoln Inn. Dia meraih gelar Bachelor of Arts dari Cambridge University tahun 1907, dan meraih gelaran Ph.D. di bidang filsafat dari Fakulti Filsafat di Ludwig-Maximilians University di Munich di tahun yang sama. Gelaran doktoralnya ini diraihnya dengan disertasi The Development of Metaphysics in Persian dengan bimbingan Prof Dr Friedrich Hommel.

Saat di Eropah inilah, Iqbal mulai menulis puisi dalam bahasa Parsi, kerana boleh dimengerti lebih banyak orang, seperti di Iran dan Afghanistan. Dan, saat di Inggeris, untuk pertama kalinya, Iqbal terjun ke politik. Tahun 1908, ia terpilih menjadi ahli jawatankuasa eksekutif The Muslim League cawangan Inggeris. Bersama Syed Hassan Bilgrami dan Syed Amir Ali, dia ikut membuat konsep perlembagaan Muslim League.

Iqbal memang sedang ingin berjuang untuk martabat bangsa dan umatnya. Saat itu, bangsa Muslim berada dalam kemunduran dan penjajahan Barat. Iqbal merasa terpanggil untuk memperbaiki nasib bangsa dan umatnya itu, salah satunya dengan pembaharuan pemikiran Islam agar kontekstual dengan jiwa zaman saat itu. “Sesungguhnya sudah masanya bagi kita saat ini untuk memelihara asas-asas Islam,” serunya. Dengarlah semangatnya:

Bangunlah, hai Muslim, hembuskan hidup yang baru Pada segenap jiwa yang hidup Bangkitlah dan nyalakan semangat Orang yang bernyawa Bangkitlah dan letakkan kakimu di jalan lain

Pada 1908, Iqbal pulang, dan sejak itu dia meniti karier di bidang akademik, perundangan, dan, yang paling didalaminya: puisi. Dia bekerja sebagai penolong profesor di Government College, Lahore, yang kemudian dilepaskannya pada 1909 kerana niatnya untuk memberi tumpuan penuh sebagai peguam. Tapi, dalam perjalanannya, Iqbal tidak dapat memberikan fokus sebagai seorang peguam, tetapi membahagi waktunya untuk perundangan dan perkembangan intelektual serta spiritualnya.

Tahun 1911, Iqbal membacakan pusinya Shikvah (Keluhan) pada pertemuan tahunan dari organisasi Anjuman Himayat-e-Islam, Lahore. Dan, pada 1913 puisinya Javab-e-Shikyah (Jawaban dari Keluhan) dibacakan di Mochi Gate, Lahore.

Asrar-i-Khudi (Rahsia Diri) terbit pada 1915. Inilah antologi puisi pertama Iqbal, dan ditulis dalam bahasa Parsi. Bukan sekadar puisi, tapi terkandung filsafat agama. Isinya berisi tentang pentingnya Ego. Bagi Iqbal, jawapan atas pertanyaan-pertanyaan esensial berkenaan dengan Ego sangatlah penting untuk persoalan moral, baik untuk individual ataupun masyarakat.




Rumuz-i-Bekhudi (Rahsia Kedirian), dibuat dalam bahasa Parsi tahun 1918. Tema utamanya berisi tentang masyarakat ideal, etika dan prinsip sosial dalam Islam, dan hubungan antara individu dan masyarakat. Di sini, Iqbal juga menjelaskan aspek-aspek penting dari agama lain. Iqbal melihat bahawa individu dan masyarakatnya sebenarnya saling mencerminkan satu dengan lainnya. Individu harus menjadi jiwa yang kuat sebelum bersatu dengan masyarakatnya. Dan, dengan berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya, Ego belajar menerima batas-batasan kebebasannya dan makna cinta.

Pada 1919, dia terpilih sebagai Setiausaha Agung Anjuman Himayat-e-Islam. Dan tahun 1923, sebagai penyair terkenal, Iqbal menerima gelar bangsawan dari Kerajaan Hindia-Belanda kerana antologi puisi Asrar-i-Khudi.

Pada 1931, Mohammad Ali (Jauhar) wafat, dan Muhammad Ali Jinnah hijrah ke London untuk memimpin organisasi di sana, maka secara automatik Iqbal memimpin umatnya, setidaknya sampai kepulangan Ali Jinnah pada 1935. Tak berlama-lama, pada 1931 dan 1932, Iqbal mengadakan diskusi dalam bentuk Persidangan Meja Bulat di Inggeris untuk membincangkan nasib India.

Bahkan, pada 1930, Iqbal sebenarnya sudah memperkenalkan konsep sebuah negara Muslim yang terpisah dari India, yang menjadi asas kepada pembentukan Pakistan. Tepatnya, pada 29 Disember 1930, pada sebuah acara All-India Muslim League, di Allahabad. Hal serupa, khususnya soal nasionalisme Muslim di India, dipertegas lagi saat pertemuan tahunan pada 21 Mac 1932.

Selama di Inggeris itu, Iqbal merenung dan menulis. Javid Nama adalah salah satu karyanya yang terkenal yang dibuat tahun 1932, dan dianggap sebagai Divine Comedia dari Timur. Iqbal terpengaruh Ibnu Arabi, Marri, dan Dante. Iqbal, dipandu oleh Rumi sang guru, berjalan menembus langit menuju Sang Maha Tinggi. Ada berbagai permasalahan hidup yang dibahas, dan dijawab. Pada karya ini, si “aku” melakukan perjalanan ke langit, melewati langit demi langit sampai ke tangga tertinggi. Pada masing-masing langit, Iqbal menempatkan sejumlah tokoh (Barat dan Timur) yang menpengaruhi pemikirannya, mereka “ditempatkan” sesuai pencapaian pemikirannya dalam ehwal manusia bereksistensi penuh.

Tokoh-tokoh itu tak sekadar dihadirkan dan ditempatkan, melainkan juga dikritik dan dipelajari tingkat “kesalahannya” dalam menempuh jalan kemanusiaan. Nietzsche, misalnya, sebagai manusia Barat yang hanya sampai pada “penolakan”, namun disayangkan tak sempat mengenyam “penemuan”. Nietzsche hanya menyatakan kematian Tuhan, tanpa merumuskan gagasan baru mengenai Tuhan. Terakhir, dia berbicara untuk kaum muda dan semacam membimbing generasi baru.


Semaklah puisinya:

Apakah kau sekadar debu?
Kencangkan simpul pribadimu
Pegang selalu wujudmu yang alit
Betapa keagungan memulas pribadi seseorang
Dan menguji cahayanya di kehadiran suria

Lalu pahatkan kembali rangka lama kepunyaanmu
Dan bangunlah wujud yang baru Wujud yang bukan semu
Atau pribadimu cuma lingkaran asap
.............................................

Dia juga bertemu dengan filsuf Perancis, Henri Louis Bergson dan diktator Itali, Benito Mussolini. Dan, kedatangannya ke Sepanyol membuatnya menulis tiga puisi indah, yang terkumpul dalam Bal-i-Jibril (Sayap Jibril) terbitan 1935.

The Reconstruction of Religious Thought in Islam adalah karya bukan-fiksinya yang ketiga setelah Ilm Al-Iqtisad (Ilmu Ekonomi, 1903) dan disertasinya. Buku kumpulan ceramahnya dari Madras, Hyderabad, dan Aligargh ini adalah Magnum Opus-nya di bidang filsafat dan menjadi pegangan bagi pemikir Islam hingga saat ini. Isinya adalah “Pengetahuan dan Pengalaman Keagamaan”, “Konsep Tuhan dan Makna Doa”, “Manusia-Ego”, “Pradestinasi dan Kehendak Bebas”, “Semangat Kebudayaan Muslim”, dan “Prinsip Gerakan dalam Islam (Ijtihad)”. Iqbal meracik pengetahuan Islam tradisional dengan filsafat Barat dengan gaya dan fikirannya sendiri, tanpa terpengaruh oleh bangsa Barat.

Sekembalinya dari perjalanan ke Afghanistan tahun 1933, kesihatan Iqbal menurun, namun pemikiran keagamaan dan politiknya makin cemerlang, dan popularitinya berada dalam puncaknya. Salah satunya adalah idea mendirikan Idara Dar-ul-Islam, sebuah institusi tempat pendidikan khusus Ilmu Sosial Mutakhir dan Islam Klasik. Tampaknya, Iqbal ingin sekali menjadi jambatan bagi filsafat dan pengetahuan popular dengan ajaran Islam.

Iqbal berhenti dari pengamal perundangan pada tahun 1934, kerana kesihatannya menurun. Dan, akhirnya Iqbal wafat pada 21 April 1938 di Lahore�yang kemudian menjadi bahagian dari Pakistan. Sesaat sebelum wafatnya, sang penyair besar itu menggoreskan sajak:

Bila beta telah pergi meninggalkan dunia ini, Tiap orang kan berkata ia telah mengenal beta Tapi sebenarnya tak seorang pun kenal kelana ini, Apa yang ia katakan Siapa yang ia ajak bicara Dan darimana ia datang.

Namanya diabadikan menjadi nama Lapangan Terbang Pakistan, Allama Iqbal International Airport. Dan generasi setelahnya, tidak hanya Muslim, mengenangnya sebagai seorang pemikir besar yang mengabadikan fikirannya dengan puisi. Kerana, Iqbal begitu menghargai seni, khususnya puisi. Puisi, menurut Iqbal, adalah cahaya filsafat sejati dan pengetahuan yang lengkap. Tujuannya membantu manusia dalam perjuangannya melawan semua keburukan dengan mengimbau kepada unsur-unsur kemuliaan. Peranan seni adalah bersifat sosial. Ia adalah penuntun kemanusiaan. Dan, yang patut dicatat, Iqbal anti dengan konsep “Seni untuk seni”.

Rabindranath Tagore, setelah mendengar kematiannya, berkata bahawa kematian Iqbal menimbulkan kekosongan dalam kesusasteraan, yang seperti luka parah dan memerlukan waktu untuk menyembuhkannya. “India yang tempatnya di dunia begitu sempit, boleh menanggung derita akibat hilangnya seorang penyair yang sajak-sajaknya mengandung imbauan universal”, ujarnya.

Seorang kritikus sastera ternama, A.K. Brohi mengulas: “Jika mahkota burung merak menjadi sebab bagi kebanggaan Iran, Kooh-I-noor bermakna kejayaan dan martabat bagi mahkota Inggeris, maka Iqbal, kalau perlu, menjadi penghias dari halaman puitis setiap negeri.”

Sementara ideolog Ali Shari’ati menyatakan bahawa: “Nasihat terbesar Iqbal kepada kemanusiaan adalah: Mempunyai hati seperti Isa, fikiran seperti Sokrates, dan tangan seperti tangan Caesar, tapi semuanya berada dalam satu diri manusia, dalam satu makhluk kemanusiaan, berdasarkan satu semangat, untuk mencapai tujuan. Itulah, menjadi seperti Iqbal.”

Muhammad Iqbal (1873-1938) adalah seorang penyair dan filsuf muslim asal India dan memperoleh pendidikan asasnya di Sialkot, Punjab. Pada tahun 1895 ia pindah ke Lahore untuk belajar di institusi pengajian tinggi di sana dan pada tahun 1905 ia melanjutkan pengajiannya ke Eropah dan memperoleh gelar kedoktoran dalam falsafah dari Universiti Munich.

Di samping itu, pada tahun 1935, beliau juga memperoleh kedoktoran di bidang kesusasteraan dari Universiti Punjab. Manakala pada tahun 1927, ia pernah dipilih menjadi anggota Majlis Legislatif Punjab dan pada tahun 1930 ia juga pernah dipilih sebagai Presiden sidang tahunan dari Liga Muslim. Dalam tempoh ini, ia mendukung gagasan tentang sebuah negara Islam di wilayah Timur Laut India, dan kerana itu ia dianggap sebagai pemimpin di kalangan pendukung negara Pakistan.

Konsep Iqbal tentang Tuhan, begitu pula dengan falsafahnya secara keseluruhan, dapat dibahagi menjadi tiga fasa. Pada fasa yang pertama–yang berlangsung dari tahun 1901 sampai kira-kira tahun 1908–Tuhan yang diyakini oleh Iqbal adalah suatu “Keindahan Abadi, yang ada-Nya tanpa tergantung pada sesuatu dan mendahului segala sesuatu, dan kerana itu, Tuhan menampakkan diri dalam semuanya itu.” Tuhan juga adalah penyebab gerak pada segala sesuatu. Adapun seluruh kemaujudan (eksistensi) selain Tuhan adalah bersifat fana.




Pada fasa yang kedua–yang berlangsung kira-kira dari tahun 1908 sampai 1920–konsepsnya mengenai Tuhan dibimbing oleh falsafahnya tentang peribadi (philosophy of the self). Tuhan adalah “Peribadi Mutlak, Ego Tertinggi,” suatu Kemahuan Abadi yang Esa. Keindahan pada fasa ini direduksi menjadi suatu sifat Tuhan.

Kemudian ia menyatakan bahawa Tuhan tidak menyatakan dirinya di dalam dunia yang terinderai, melainkan di dalam peribadi terbatas?hal ini mungkin merupakan implikasi daripada konsepsnya tentang dunia yang terinderai, yang dikatakannya sebagai ciptaan dari peribadi terbatas, bentukan dari hasrat-hasrat manusia. Oleh kerana itu, maka usaha untuk mencari dan mendekatkan diri kepada-Nya hanya dimungkinkan lewat peribadi.

Dengan menemukan Tuhan, seseorang tidak boleh terserap ke dalam Tuhan dan membiarkan dirinya menjadi tiada, tetapi sebaliknya ia harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya. Fasa yang ketiga–yang berlangsung kira-kira dari tahun 1920 sampai dengan meninggalnya Iqbal pada tahun 1938–merupakan masa kematangan dari pemikiran Iqbal.

Konsep Tuhan sebagai suatu peribadi masih menonjol, tetapi falsafah perubahannya lebih menonjol lagi. Pada fasa ini, secara umum Tuhan digambarkan oleh Iqbal sebagai suatu Ego kreatif yang terarah secara rasional. Adapun sebelum kita membahas secara lebih rinci mengenai konsep Iqbal tentang Tuhan pada fasa yang terakhir ini, maka ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu bagaimana Iqbal boleh sampai kepada konsep tersebut.



Mencapai Tuhan Melalui Pengalaman Manusia

Iqbal mencapai konsepnya yang terakhir mengenai Tuhan melalui penelitian dan penafsiran atas pengalaman manusia. Menurut Iqbal, Al-Qur’an telah memberikan petunjuk bahawa pengalaman merupakan perlambangan dari suatu realiti yang digambarkan sebagai “Yang Pertama dan Yang Terakhir, Yang Terlihat dan Yang Tak Terlihat.”

Adapun Iqbal kemudian membahagikan pengalaman manusia yang berlangsung di dalam waktu menjadi tiga tingkatan, iaitu tingkatan benda, tingkatan hidup dan tingkatan kesedaran, yang masing-masing dibahas oleh ilmu alam, ilmu hayat dan psikologi.

Di dalam pembahasannya mengenai pengalaman di tingkatan benda, Iqbal mengkritik konsep benda di dalam bendaisme dan ilmu alam tradisional yang menyatakan bahawa benda adalah “sesuatu yang bertahan dalam waktu dan bergerak dalam ruang.” Di dalam kritiknya ini, ia menggunakan pendapat-pendapat dari Zeno, Einstein, Ouspensky dan Whitehead.

Menurut Iqbal, Einstein dengan teori kenisbiannya yang memberikan kritik paling keras terhadap konsep benda di dalam bendaisme dan ilmu alam tradisional. Menurut Einstein, benda itu adalah bukan sesuatu yang diam dengan keadaan yang berubah-ubah, melainkan adalah suatu sistem kejadian-kejadian yang saling berhubungan. Ouspensky kemudian menambahkan satu unsur yang nampaknya tidak ada di dalam teori Enstein tersebut.

Dengan menambahkan “satu dimensi yang membagi-bagi peristiwa-peristiwa di dalam tata susunan ganti-berganti,” Ouspensky menambahkan unsur waktu ke dalam “sistem peristiwa-peristiwa” Einstein. Sayangnya, Ouspensky terjebak dengan menyatakan bahawa waktu itu sama seperti dimensi-dimensi ruangnya Euclid.

Adapun pendapat Whitehead mengenai alam, yang dikatakannya sebagai “suatu struktur peristiwa-peristiwa yang memiliki sifat mengalir terus-menerus secara kreatif,” nampaknya adalah yang paling dekat dengan konsep Iqbal tentang alam dan benda. Di dalam istilah Whitehead, pengertian “benda” diganti seluruhnya dengan pengertian “organisme.”

Di dalam pembahasannya mengenai pengalaman di tingkatan hidup, Iqbal mengkritik konsep mekanisme di dalam kehidupan. Menurut Iqbal, dengan mengikuti pendapat dari J.S. Haldane, perbezaan antara sebuah mesin dengan sebuah organisme hidup adalah bahawa yang terakhir ini bersifat memelihara dan mereproduksi diri sendiri. Adapun proses reproduksi dan pemeliharaan diri sendiri ini tidak boleh ditafsirkan sebagai suatu proses yang bersifat mekanikal.

Kemudian Iqbal dengan menggunakan pendapat Wildon Carr, juga mengatakan bahawa konsep mekanistik di dalam kehidupan, memastikan adanya pandangan bahawa intelek itu merupakan hasil suatu evolusi, tetapi justru pandangan adanya evolusi intelek itu berkontradiksi dengan pandangan mekanistik tentang kehidupan, kerana “bagaimana mungkin, intelek yang merupakan alat untuk memahami realiti, itu sendiri merupakan evolusi dari sesuatu yang adanya hanya sebagai hasil abstraksi dari alat untuk pemahaman yang tidak boleh lain adalah intelek itu.” Lebih jauh lagi, suatu intelek yang berevolusi akan bersifat nisbi terhadap aktiviti yang mengevolusikannya, yang menurut ilmu alam tradisional bersifat mekanistik.

Di dalam pembahasannya mengenai pengalaman di tingkatan kesedaran, Iqbal menemukan bahawa manusia, merasakan dan menyedari hidupnya ada di dalam waktu. Dalam kata-kata Bergson, “saya melalui keadaan demi keadaan?saya berubah, tak berhenti-hentinya.” Oleh kerana itu, sama dengan kesedaran kita, “eksistensi yang sedar bererti kehidupan di dalam waktu.”


Adapun Iqbal kemudian membahagikan ego menjadi dua macam, iaitu ego efisien dan ego apresiatif. Ego efisien adalah ego yang bersifat praktis, “yang berhubungan dengan tata lahiriah benda-benda,” sedangkan ego apresiatif adalah pusat batin pengalaman kita, ego yang kita capai pada saat-saat kita sedang bersemadi. Oleh ego yang efisien, keadaan-keadaan yang melintasi kesedaran kita dipotong-potong, sehingga waktu yang kita rasakan dengan ego ini adalah waktu bersiri, iaitu waktu yang sekerat-sekerat, yang sering kita ekspresikan dengan kata-kata “lama,” “sebentar,” “panjang” atau “pendek.”

Adapun sebaliknya, ego yang apresiatif meleburkan dan menyatukan keadaan-keadaan yang melintasi kesedaran kita, sehingga waktu yang dirasakan dengan ego ini adalah waktu yang merupakan “kesatuan yang organik,” yang disebut oleh Iqbal dengan “tempoh waktu yang murni.” Di dalam perlangsungan waktu yang murni, masa lampau “bergerak bersama dan berlangsung dalam masa kini,” sedangkan masa depan hadir secara langsung “sebagai suatu kemungkinan yang terbuka.” Setiap saat di dalam kehidupan realiti adalah asli dan baru.


Berada di dalam “tempoh waktu” yang murni, tidaklah bererti “diikat oleh rantai waktu yang berurutan, melainkan menciptakannya dari saat ke saat, serta merdeka dan asli sama sekali dalam penciptaan.” Sama dengan pengalaman kesedaran kita, alam semesta adalah “merupakan suatu gerakan kreatif yang merdeka.” Apa yang dinamakan sebagai “benda-benda adalah kejadian-kejadian dalam kelanjutan alam.” Alam semesta yang seolah-olah merupakan sekumpulan benda-benda, sebenarnya adalah suatu kegiatan.

Walaupun Iqbal di dalam pembahasannya mengenai pengalaman di tingkatan kesedaran sedikit banyaknya menggunakan pendapat dari Bergson, tetapi ia juga mengkritik beberapa pendapat dari Bergson. Salah satu kritiknya yang penting adalah terhadap penyangkalan Bergson atas sifat teleologi dari realiti. Penyangkalan Bergson tersebut berdasarkan alasan bahawa sifat teleologi akan menyebabkan waktu menjadi tidak nyata, sehingga realiti menjadi tidak kreatif dan merdeka.

Menurut Iqbal, alasan dari penyangkalan Bergson tersebut adalah benar apabila apa yang dimaksudkan sebagai “teleologi” adalah “pelaksanaan suatu rencana dengan melihat suatu tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya.” Tetapi permasalahannya adalah bahawa ada pengertian teleologi yang lain. Pengertian teleologi yang lain ini adalah gerak maju ke depan yang bersifat sedar dan kreatif.

Menurut Iqbal, realiti bersifat teleologis atau bertujuan bukan dalam arti bahawa ia hanya pelaksana dari suatu tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya, tetapi “dalam arti bahawa sifatnya sangat selektif, dan menuju pada semacam pencapaian di masa-kini dengan secara aktif memelihara serta memperlengkapi masa-lalu.”

Berdasarkan pembahasan Iqbal mengenai pengalaman di tingkatan kesedaran, kita dapat melihat bahawa realiti yang sebenarnya adalah suatu perlangsungan waktu yang murni, yang merupakan gerak daripada suatu ego. Sebagai suatu ego, kodrat realiti dengan demikian bersifat ruhaniah.

Adapun alam, yang ditunjukkan oleh pembahasan Iqbal mengenai pengalaman di tingkatan benda sebagai suatu struktur peristiwa-peristiwa, adalah merupakan semacam watak atau cara tata laku yang seragam dari ego tersebut. Dengan kata lain, alam adalah merupakan kegiatan kreatif dari ego tersebut.

Pada akhirnya Iqbal berkesimpulan bahawa “Realiti yang terakhir” adalah suatu Ego kreatif yang terarah secara rasional. Adapun untuk menekankan Keindividualan daripada Ego kreatif tersebut, Al-Qur’an menyebutnya dengan nama “Allah.”


Falsafah Iqbal Tentang Tuhan

Di atas tadi telah dijelaskan dengan ringkas mengenai konsep Iqbal tentang Tuhan secara umum, dan bagaimana ia boleh mencapai konsep tersebut melalui suatu analisa terhadap pengalaman manusia.

Maka sekarang, kita akan cuba untuk meneroka konsep Iqbal tersebut, dengan cara membahas beberapa isu yang diangkat oleh Iqbal berkenaan dengan konsep tersebut. Isu-isu tersebut adalah mengenai: (1). Keindividualan Tuhan; (2). Kreativiti Tuhan; (3). Kekekalan Tuhan; (4). Pengetahuan Tuhan, dan (5). Keakbaran Tuhan.

Dalam hubungannya dengan Keindividualan Tuhan, Iqbal membahas dua hal yang berhubungan dengan konsep “Keindividualan” secara umum, iaitu reproduksi dan keterbatasan.

Mengenai yang pertama, Iqbal berpendapat bahawa suatu Keindividualan yang sempurna tidak mungkin bereproduksi atau dalam kata-kata Bergson, “meletakkan lawannya dalam dirinya sendiri,” kerana hal itu akan bercanggah dengan sifat-Nya sendiri sebagai suatu keindividualan yang sempurna, iaitu “tertutup sebagai suatu ego, khas dan unik.” Oleh kerana itu Ego yang sempurna “harus dilukiskan sebagai sesuatu yang berada di atas pengaruh antagonisme reproduksi.”

Adapun mengenai hal yang kedua, Iqbal mengkritik pandangan umum yang mengatakan bahawa suatu keindividualan bersifat terbatas dalam hubungannya dengan keindividualan yang lain.

Pandangan seperti ini, menurut Iqbal, muncul kerana ketidakterbatasan dibayangkan secara ruang dan waktu. Padahal ketidakterbatasan secara ruang dan waktu itu tidak pernah ada, kerana ruang dan waktu itu sendiri bersifat tidak mutlak, dalam makna bahawa ruang dan waktu–seperti yang telah dijelaskan sebelumnya–adalah merupakan suatu struktur peristiwa-peristiwa yang saling berhubungan dan ganti berganti.

Oleh kerana itu Iqbal kemudian berkesimpulan bahawa Tuhan sebagai suatu keindividualan bersifat tak terbatas, tetapi tidak secara ruang dan waktu, melainkan ketidakterbatasan-Nya itu terletak pada kemungkinan-kemungkinan batin dari aktiviti kreatif-Nya. Adapun ruang dan waktu adalah merupakan kemungkinan-kemungkinan dari Tuhan.




Mengenai kreativiti Tuhan, Iqbal berpendapat bahawa kegiatan penciptaan alam oleh Tuhan tidaklah seperti kegiatan mencipta dari sebuah kilang, yang mana bersifat menghasilkan “sesuatu” dari “sesuatu yang lain,” dan kemudian hasil penciptaan itu berdiri secara bebas dari penciptanya.

Adapun kegiatan penciptaan alam oleh Tuhan itu adalah secara terus menerus, tidak pernah berhenti, kerana keberadaan alam? yang sebenarnya adalah suatu struktur peristiwa-peristiwa yang saling berhubungan dan ganti berganti?itu tergantung dari kegiatan penciptaan Tuhan. Di dalam faham teologi Asy’ari dinyatakan bahawa kelanjutan adanya suatu atom itu tergantung dari penciptaan peristiwa-peristiwa secara terus menerus di dalam atom tersebut.

Walaupun Iqbal membenarkan beberapa hal di dalam faham teologi Asy’ari mengenai masalah penciptaan atom ini, tetapi ia mengubah atomisme Asy’ari menjadi suatu faham pluralisme ruhaniah. Ia mengatakan bahawa segala sesuatu yang ada di dunia ini, termasuk atom, sebenarnya adalah suatu ego dan segala macam ego yang ada adalah merupakan pesedaran diri dari Tuhan.

Mengenai masalah kekekalan Tuhan, Iqbal membahasnya di dalam kaitannya dengan waktu. Iqbal mengkritik para pemikir yang cuba untuk memahami waktu dengan menggunakan suatu kaedah yang objektif, kerana kaedah ini hanya dapat menangkap waktu yang bersifat siri, atau terpotong-potong/sekerat-sekerat.

Ia kemudian mencuba untuk memahami waktu melalui suatu analisa psikologi. Melalui analisa ini?seperti yang telah dijelaskan sebelumnya?, Iqbal mendapatkan dua macam waktu, iaitu waktu siri dan perlangsungan waktu yang murni, yang masing-masing difahami oleh ego yang efisien dan ego yang apresiatif. Ego yang apresiatif hidup di dalam perlangsungan waktu yang murni dan merupakan suatu “perubahan tanpa urutan ganti-berganti.”

Apabila kita menganalogikan kehidupan Tuhan berdasarkan kehidupan ego terbatas, maka “waktu dan Ego Terakhirpun akan nampak sebagai perubahan tanpa urutan ganti-berganti.” Inilah yang disebut dengan kekekalan Tuhan, iaitu kehidupan-Nya yang merupakan “perubahan tanpa urutan ganti-berganti,” kehidupan-Nya di dalam perlangsungan waktu yang murni.

Mengenai pengetahuan Tuhan, Iqbal berpendapat bahawa pengetahuan Tuhan bukanlah merupakan pengetahuan yang diskursif, di mana pengetahuan adalah “suatu proses tempoh yang bergerak di sekeliling sesuatu ‘yang lain’, yang dianggap ada secara per se dan berhadap-hadapan dengan ego yang mengetahui.”

Pengetahuan Tuhan juga bukanlah seperti yang digambarkan oleh Djalaluddin Dawani, Iraqi dan Royce, di mana pengetahuan Tuhan adalah “suatu tindak mempersepsikan yang tunggal dan tak terbahagi-bahagi, yang membuat Tuhan dengan secara langsung tahu mengenai semesta sejarah.”

Pengetahuan Tuhan, menurut Iqbal, adalah suatu bentuk pengetahuan yang aktif, di mana objek pengetahuan bukanlah merupakan sesuatu yang terpisah dan menjadi sumber pengetahuan bagi si subjek, melainkan sesuatu yang berasal dan tercipta dari pengetahuan si subjek. Pengetahuan-Nya adalah “suatu kegiatan yang di dalamnya mengetahui dan mencipta adalah satu.”

Mengenai keakbaran Tuhan, Iqbal menyatakan bahawa kemahakuasaan Tuhan itu berhubungan erat dengan kebijaksanaan-Nya. Kemahakuasaan Tuhan, menurut Iqbal tidak merupakan suatu kekuasaan yang buta dan serampangan, tetapi justeru “menampakkan diri dalam hal-hal yang teratur, yang baru dan tersusun.”

Dengan demikian, kekuasaan dan iradah Tuhan itu bersifat baik. Tetapi timbul permasalahan di sini. Apabila kekuasaan Tuhan itu bersifat baik, mengapa kejahatan itu adalah sesuatu yang nyata adanya di dunia ini?

Iqbal menjawab hal ini dengan menghubungkannya kepada konsep kebebasan memilih dari manusia. Menurut Iqbal, Tuhan menganugerahkan kemerdekaan untuk memilih kepada manusia, sehingga manusia boleh memilih apa yang “baik” dan apa yang “sebaliknya dari baik.” Pilihan manusia terhadap sesuatu yang “sebaliknya dari baik” itulah yang dinamakan “kejahatan.” Konsep “kebaikan” dan “kejahatan” itu sendiri nampaknya hanya berlaku pada manusia.

Kedua konsep tersebut bukanlah sesuatu yang terpisah satu sama lain, tetapi terletak di dalam keseluruhan yang sama, dan harus difahami di dalam hubungan satu sama lain. Adapun di dalam Al-Qur’an, menurut Iqbal, terdapat suatu meliorisme, “yang mengakui adanya suatu alam semesta yang tumbuh, dan dijiwai oleh harapan bahawa pada akhirnya manusia akan mengalahkan kejahatan.”




Rumusan

Demikianlah telah dijelaskan secara ringkas mengenai falsafah Iqbal tentang Tuhan, beserta dengan implikasi-implikasinya. Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas, dapat kita lihat bahawa falsafah Iqbal tentang Tuhan sedikit banyaknya bersifat antropomorfik.

Hal ini nampaknya adalah merupakan suatu konsekuensi daripada kaedah pengkajiannya tentang Tuhan, yang beranjak dari pengalaman manusia. Tetapi ini bukan bererti bahawa kaedah tersebut gagal di dalam penggunaannya untuk memahami Tuhan secara objektif, kerana memang tidak ada suatu kaedah apapun yang dapat digunakan untuk memahami Tuhan secara utuh.

Iqbal sendiri nampaknya berpendapat bahawa apabila kita ingin menggambarkan Tuhan sebagai sesuatu yang hidup, maka penggambaran yang bersifat antropomorfik tidak dapat dihindari sepenuhnya, kerana di dalam memahami kehidupan, kita tidak dapat menghindari suatu konsep yang bersifat antropomorfik.

Selanjutnya? seperti yang telah disinggung di atas?, memang perlu kita sedari bahawa manusia, sebagai suatu ego yang terbatas, tidaklah mungkin dapat memahami Tuhan secara utuh, kerana bagaimana mungkin sesuatu yang bersifat terbatas dapat memahami suatu keseluruhan yang bersifat tak terbatas, yang melampaui jangkauan dari yang terbatas tersebut.

Adapun apa yang sebenarnya dapat kita fahami hanyalah “penampakan” yang bersifat serpihan dari Tuhan, yang kita tafsirkan berdasarkan data-data yang ada di dalam dunia, pengalaman dan kehidupan kita, dan inilah yang nampaknya diusahakan oleh Iqbal.


Manusia Sempurna Menurut Iqbal

Iqbal, banyak orang bilang, terpengaruh oleh Friedric Nietzsche. Bahkan, dia ingin membuat buku, The Book of a Lost Prophet, yang bergaya Nietzschean seperti Thus Spoke Zarathustra—tetapi kematian lekas memanggilnya. Banyak orang melihat bahawa “Insan Kamil” Iqbal terpengaruh oleh konsep Ubermensche.

Walau bagaimanapun, sesungguhnya Iqbal lebih dari itu, dia menggali kembali konsep tentang Khalifah dalam ajaran Islam, khususnya Jami dan Rumi. Sedang dari Bergson, Iqbal terpengaruh dengan konsep “waktu”.

Khusus untuk Insan Kamil (Manusia Sempurna), konsep ini adalah salah satu fikiran inti Iqbal, di samping Khudi (Selfness, Ego). Memang, filsafat Iqbal adalah filsafat yang meletakkan semua kepercayaannya pada Manusia yang dilihatnya memegang kemungkinan tak terbatas, kemahuan untuk mengubah dunia, dan dirinya sendiri. Untuk Manusia Sempurna ini, Iqbal menulis:

Isilah telinga kami dengan musikmu
Bangkitlah dan bunyikan kecapi persaudaraan
Berilah kami kembali cawan anggur cinta
Berilah kami lagi hari-hari damai pada dunia
Kirimkan pesan perdamaian pada si gila perang

Insan kamil muncul dari suatu pencarian yang penuh semangat, suatu peneguhan kemuliaan yang berhasil. Untuk mencapai tataran ini, Ego harus melaluinya dengan tahapan-tahapan: (1) ketaatan kepada hukum, (2) penguasaan diri sendiri yang merupakan bentuk tertinggi kesedaran diri tentang peribadi, dan (3) kekhalifahan Ilahi.

Muhammad Iqbal, menerjemahkan Insan Kamil alias khalifatullah sebagai co-creator; dengan Allah sebagai Creator-nya. Seperti dalam salah satu sajaknya dalam Payam-i Masyriq (Pesan untuk Bangsa Timur), iaitu sebuah puisi sebagai jawapan dari West-östlicher Diwan dari Johann Wolfgang von Goethe.

Engkau telah ciptakan malam dan aku membuat lampu
Engkau telah ciptakan lempung dan aku membuat cangkir

Makam Iqbal, meninggal dunia tahun 1938


Oleh: Ekky Malaky
Disalin dari blogger: ummahonline.com./sila layari untuk meluaskan view-point anda!

1 comment:

sheikh mustafa kamal al aziz said...

Alfatihah untuk mu Sir Muhammad Iqbal, Saya jadi tertarik untuk menyiarkan artikal ini kerana tarikh lahir mu bersamaan dengan anak lelaki saya iaitu pada 22 hb February. Saya memang menyanyung tinggi peranan mu dalam bidang puisi keislaaman dan peranan mu dalam memgembangkan pemikiran rakyat Pakistan. Yang lebih mendekatkan saya kepada mu adalah puisi puitis mu. Kebetulan anak saya di lahirkan sama tarikh dengan mu dan mengharapkan anak saya yang namanya sama Muhammad Iqbal menjadi orang yang berguna kemudian hari atau mengikut jejak mu sebagai pemikir. Tetapi setakat ini umur nya 17 tahun masih tak nampak minatnya ke situ. Selepas SPM 2008, dia mendapat tawaran di MIAT, Sepang bidang Avation dan saya mendoakan dia berjaya dalam kerjaya yang diminatinya. Walaupun berlainan dari yang saya harapkan (menjadi seperti Iqbal) tetapi itu adalah kejayaan, sebenarnya... Doakan!.